POLICY
PARTNERSHIP DALAM MEWUJUDKAN KEMANDIRIAN DESA
(Studi
Implementasi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa)
Oleh: Abdul Fatah Fanani
A.
Pendahuluan
Desa sebagai satuan
wilayah terkecil dalam sistem pemerintahan di Indonesia memiliki peran
strategis dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Berbagai peraturan tentang
desa telah dibuat untuk menunjang proses pembangunan desa sejak republik ini
berdiri. Selain sebagai wilayah otonom, desa juga memiliki keunikan tersendiri
diantaranya adalah kondisi kultur masyarakat yang masih kental dengan tradisi.
Ada beberapa desa yang masih memegang teguh hukum adat, sehingga kondisi unik
tersebut perlu tetap dijaga dan dilestarikan. Kebijakan pemerintah tentang desa
harus tetap menjaga keutuhan desa secara alamiah, sehingga tidak mengikis
nilai-nilai sosial budaya masyarakat adat di desa. Kebijakan pembangunan
nasional harus tetap memperhatikan faktor keunikan desa tersebut, sehingga
modernisasi dan kesejahteraan yang diharapkan dari pembangunan tidak merusak
norma-norma dan keaslian budaya masyarakat desa.
Peraturan perundang-undangan
tentang desa telah dibuat pemerintah sejak awal republik ini berdiri. Namun ada
perbedaan yang fundamental antara undang-undang nomor 6 tahun 2014 dengan
peraturan perundangan tentang desa sebelumnya. Sebagai contoh dalam Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah disusun dengan semangat amanah
konstitusi yaitu pengaturan masyarakat hukum adat sesuai dengan ketentuan pasal
18B ayat (2). Meskipun demikian kewenangan kesatuan masyarakat hukum adat
mengenai pengaturan hak ulayat merujuk pada ketentuan peraturan
perundang-undangan sektoral yang berkaitan. Peraturan tentang desa
yang terbaru dan diharapkan mampu membawa perubahan yang signifikan di desa
adalah undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa. Dalam undang-undang nomor
6 tahun 2014 tersebut mengandung substansi yang sangat berbeda dengan peraturan
perundangan sebelumnya. Reformasi kebijakan tentang desa dapat terlihat jelas
dalam undang-undang desa ini. Masyarakat desa selama ini lebih sering hanya
menjadi penonton dalam pelaksanaan pembangunan di daerahnya. Namun melalui undang-undang
nomor 6 tahun 2014 ini masyarakat diberikan kewenangan pengakuan terhadap hak
asal usul (rekognisi), penetapan kewenangan berskala lokal dan
pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa (subsidiaritas),
keberagaman, kebersamaan, kegotong-royongan, kekeluargaan, musyawarah,
demokrasi, kemandirian, partisipasi, kesetaraan, pemberdayaan dan
keberlanjutan.
Dalam implementasi undang-undang
nomor 6 Tahun 2014, masih banyak mengalami hambatan, sehingga masih jauh dari
harapan. Hambatan-hambatan dalam implementasi undang-undang nomor
6 tahun 2014 tentang desa tersebut, seperti disampaikan Marwan Jafar Menteri
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi pada acara Rembug
Nasional Desa Membangun Indonesia di Jakarta, Selasa (15/12) (CNN Indonesia
Selasa, 15/12/2015 23:49 WIB) diantaranya:
“1. Hambatan
pertama, kata Marwan, adanya fragmentasi penafsiran Undang-Undang Desa
di tingkat elit. Hal ini berimplikasi pada proses implementasi dan pencapaian
mandat yang tidak utuh, bahkan mengarah pada pembelokan terhadap mandat undang-undang
desa.
2. Hambatan kedua, di tingkat
pemerintahan desa, kata Marwan, kerap terjadi pragmatisme yang mengarah pada
hilangnya kreativitas dalam menggali sumber daya lokal di desa.
Dana desa yang seharusnya
digunakan masyarakat desa untuk membangun kemandirian dan kesejahteraan masyarakat
desa, sampai saat ini belum mampu dimanfaatkan secara optimal. Penggunaan dana desa
masih melakukan replikasi atas village project sebelumnya yang bias pembangunan
infrastruktur.
3. Hambatan ketiga, demokratisasi di
desa masih menghadapi kendala praktik administratif. Aparat daerah cenderung
melakukan tindakan kepatuhan dari pusat untuk mengendalikan pemerintah desa,
termasuk dalam hal penggunaan dana desa. Padahal menurutnya, undang-undang desa
telah mengakui kewenangan yang dimiliki oleh desa dalam mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal-usul, adat istiadat, dan nilai
sosial budaya secara demokratis dan partisipatif. Demokratisasi desa juga
terkendala oleh lemahnya tingkat partisipasi yang substantif dan konstruksif
dari masyarakat desa. Pada dimensi inilah pemerintah dan pemerintah daerah
dapat berperan aktif untuk membina dan memberdayakan masyarakat desa dalam
rangka meningkatkan kualitas partisipasi mereka, tandasnya.
4. Hambatan keempat, menurut Marwan menyangkut masalah penguasaan rakyat
atas tanah dan sumber daya alam. Hal ini belum terintegrasi dan belum menjadi
basis dari proses pembangunan dan pemberdayaan desa.
Masalah struktural seperti
konflik agraria, kepastian hak desa atas wilayahnya dan kedaulatan dalam
mengatur ruang desa belum tercermin dalam kebijakan pembangunan dan
pemberdayaan desa.
5. Hambatan
kelima, mengenai praktik pelaksanaan Musyawarah Desa cenderung
patriarki. Peran perempuan mengalami marjinalisasi. Misalnya ketika mereka
menyampaikan usulan yang berkaitan dengan kepentingan tubuh, nalar, dan
keberlangsungan hidupnya.
6. Hambatan
keenam, kata Marwan, tata ruang kawasan pedesaan harus tunduk pada tata
daerah. Aturan ini cenderung tidak sesuai dengan aspirasi desa. Pembangunan
desa skala lokal terkendala dengan pola kebijakan tata ruang pedesaan yang
berpola Top-down.
"Hal ini tidak jarang menyebabkan desa
kehilangan akses sumber daya akibat kebijakan tata ruang yang belum
mengakomodir aspirasi desa, tandasnya.”
Dari beberapa
permasalahan implementasi undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa
tersebut masih terlihat jelas peran dominan pemerintah. Sedangkan peran
masyarakat masih dipandang sebagai pihak yang lemah untuk dilibatkan. Hal
tersebut terlihat dari adanya keraguan beberapa pihak khususnya stakeholder
pelaksana kebijakan terhadap pemerintah desa dan masyarakat desa sebagai target
group pelaksanaan kebijakan. Dalam paradigma pembangunan manusia yang sekarang
ini sedang berkembang dan dilaksanakan oleh beberapa negara termasuk Indonesia,
partisipasi target group dalam suatu kebijakan atau program seharusnya menjadi
yang utama.
Adapun salah satu azas
dalam pengaturan desa yang termuat dalam pasal 3 yang menjadi spirit dari undang-undang
nomor 6 Tahun 2014 tentang desa tersebut adalah azas kemandirin. Kemandirian desa tersebut meliputi (1) kemandirian
pemerintah desa (Local Self Government),
(2) kemandirian masyarakat desa (Local
Governing Community). Karena adanya keterbatasan sumber daya di desa, maka
dalam upaya mencapai kemandirian tersebut desa bisa melakukan kerjasama (partnership).
Policy partnership
dalam mewujudkan kemandirian desa merujuk pada pasal 3 undang-undang nomor 6
Tahun 2014 merupakan suatu langkah yang penting dalam mendorong perubahan
masyarakat desa menuju kemandirian desa tersebut. Upaya untuk memandirikan
masyarakat desa sebagai wilayah otonom terkecil di republik ini telah dilakukan
sejak lama dari satu rejim ke rejim berikutnya, namun sampai saat ini hanya
sedikit desa yang sudah menyandang predikat mandiri. Pada tahun 2014 saja hanya
3,92 persen yang tergolong desa mandiri, 68,86 persen tergolong desa berkembang,
dan 27,22 persen tergolong desa tertinggal (BAPPENAS dan BPS, 2015). Dari
pengalaman sejarah menunjukkan bahwa kemandirian suatu desa tidak bisa
dilaksanakan tanpa melibatkan pihak lain bahkan desa lainnya. Hal tersebut
disebabkan karena antara satu dengan yang lainnya saling terkait. Kerjasama
atau partnership merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindarkan dalam rangka
mewujudkan kemandirian desa.
Oleh karena itu dalam
artikel ini, penulis mencoba mengkaji implementasi kebijakan partnership (policy partnership) dalam mewujudkan
kemandirian desa menurut undang-undang nomor 6 tahun 2014. Dengan melihat
fenomena yang ada atas implementasi kebijakan undang-undang nomor 6 tahun 2014
tentang desa dengan beberapa permasalahannya akan dianalisis dengan menggunakan
teori policy reform khususnya policy partnership dalam implementasi kebijakan.
Dan dari beberapa permasalahan yang disebutkan di atas dapat dirumuskan suatu perumusan
masalah, yaitu bagaimana implementasi partnership
untuk mewujudkan kemandirian desa menurut undang-undang nomor 6 tahun 2014
tentang desa?
B.
Konsep Kerjasama (Partnership)
Kerjasama dibutuhkan dalam
percepatan pembangunan desa, baik pembangunan lokal desa maupun pembangunan kawasan
perdesaan. Persoalan-persoalan yang dialami sebuah desa bisa saja tidak hanya
dialami dan disebabkan oleh desa tersebut akan tetapi juga bisa dialami dan
berasal dari desa lain yang terdekat. Begitu pula dengan pengembangan potensi
lokal desa, bisa saja membutuhkan peran dari desa yang lain. Misalnya dalam pengembangan
desa agropolitan tentu membutuhkan
sarana prasarana untuk memperlancar pihak yang akan datang ke lokasi maupun
akses masyarakat dalam aktifitas perekonomiannya.
Di negara
berkembang seperti Indonesia dibutuhkan peran para pihak, baik internal maupun eksternal
dalam mempercepat pembangunan desa dalam mewujudkan cita-citanya. Pihak-pihak
tersebut meliputi pihak pemerintah, kaum intelektual/akademisi, dan pihak
swasta/dunia usaha.
Etzkowitz & Leydesdorff
(dalam Bakrei, 2012:1) menyampaikan teori
triple helix sebagai sebuah konsep, gagasan utamanya adalah sinergi kekuatan antara akademisi, bisnis,
dan pemerintah. Kalangan akademisi dengan sumber daya, ilmu pengetahuan,
dan teknologinya memfokuskan diri untuk menghasilkan berbagai temuan dan
inovasi yang aplikatif. Kalangan bisnis melakukan kapitalisasi yang memberikan
keuntungan ekonomi dan kemanfaatan bagi masyarakat. Sedang pemerintah menjamin
dan menjaga stabilitas hubungan keduanya dengan regulasi kondusif. Ketiga pihak
yang terlibat tadi secara ideal akan meningkatkan keberlimpahan pengetahuan
dalam suatu wilayah dan pada gilirannya meningkatkan keberlimpahan pengetahuan
dalam suatu wilayah dan pada gilirannya meningkatkan pengembangan daya saing
ekonomi baik di tingkat lokal maupun nasional.
Model triple
helix menurut Etzkowitz & Leydesdorff (dalam Bakrei, 2012:1) ini mengalami
proses pengembangan yang menggambarkan proses transformasi dalam hubungan
antara ketiga pihak tersebut. Secara konseptual terdapat tiga bentuk evolusi
triple helix yaitu:
1. Triple Helix
I menunjukkan model etatistic hubungan perguruan tinggi-industri-pemerintah.
Dalam model ini peran pemerintah mendominasi pihak lainnya. Perkembangan system
inovasi dan kemitraan dan kelembagaan dikendalikan oleh pemerintah. Pemerintah
sebagai mediator dalam mengatur hubungan industri, transfer teknologi dan
peraturan institusional.
2. Triple Helix
II, didefinisikan sebagai suatu sistem komunikasi yang terdiri dari operasi
pasar, inovasi teknologi yang mempengaruhi perubahan di masa depan dan kontrol
antar muka. Antar muka fungsi-fungsi yang berbeda ini beroperasi dalam modus
terdistribusi untuk menghasilkan bentuk-bentuk baru komunikasi seperti dalam
transfer teknologi yang berkelanjutan atau dalam undang-undang paten. Apabila
diilustrasikan dalam lingkaran kelembagaan model ini terdiri atas tiga
lingkaran kelembagaan yang terpisah dengan garis batas yang kuat, dan hubungan
antara lingkaran tersebut sangat terbatas.”Ketegasan” peran secara
“tradisional” mencirikan model ini. Misalnya peran pemerintah dibatasi oleh
“kaidah” umum intervensi menurut pandangan arus utama ekonomi, yaitu mengatasi
kegagalan pasar.
3. Model Triple
Helix III, model ini mengungkapakan perkembangan pola kemitraan yang kompleks
dan dinamis antara ketiga aktor utama system inovasi. Para aktor berperan dalam
penciptaan infrastruktur pengetahuan dalam bentuk lingkaran spiral yang tumpang
tindih (overlapping), dimana setiap lingkaran mengambil peran pihak
lainnya dan pada antar mukanya berkembang organisasi-organisasi hibrida (hybrid
organization). Dalam model ini kelembagaan universitas, industri, dan
pemerintah, disamping melakukan fungsi-fungsi tradisional mereka, masing-masing
juga menggunakan peran pihak lain, antara lain dengan menggunakan jasa
universitas untuk menumbuhkan industri, atau melihat peran pemerintah sebagai
pengelola inovasi lokal dan regional.
Efektifitas
implementasi kebijakan partnership sebagai salah satu strategi dalam reformasi
kebijakan menurut Brinkerhoff & Crosby (2002) ditentukan oleh beberapa hal,
yaitu:
1. Situational Variables Influencing
Cross-Sektoral Policy Partnership (Variabel situasi yang
mempengeruhi kebijakan partnership)
Variabel situasi sangat berpengaruh
terhadap efektifitas dalam partnership, karena lingkungan di mana kebijakan
tersebut diimplementasikan akan berdampak terhadap pelaksanaan kebijakan
partnership. Beberapa situasi atau kondisi lingkungan yang mempengaruhi
kebijakan partnership seperti terlihat dalam gambar 1:
Gambar 1: Variabel
situasi yang mempengaruhi kebijakan partnership
Regime
Type (Tipe Rejim)
Tipe rejim merupakan variable yang
fundamental dalam policy partnership, karena tipe suatu rejim berpengaruh
terhadap karakteristik pemerintahan suatu negara, di mana negara mempunyai
hubungan yang tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat (civil society) (Fisher 1998, Frischtak 1994, Rothchild 1994,
Salamon and Anheier 1997 dalam Brinkerhoff
& Crosby (2002). Lebih lanjut disampaikan bahwa
kemampuan masyarakat sipil dalam memainkan peran dalam suatu kebijakan atau
kemampuannya dalam advokasi dan mobilisasi (berekspresi) terhadap haknya
memperoleh pelayanan publik tergantung kepada luas atau sempitnya format
hubungan antara politik-birokrasi.
Level
of Trust
Level of Trust (Tingkat Kepercayaan) antar mitra (partners) sangat berpengaruh
terhadap kemauan masing-masing pihak yang bermitra untuk memulai aktifitas
kerjasama. Kemitraan antara pemerintah dan NGOs/Civil Society (masyarakat)
kadang diwarnai dengan saling curiga, karena di beberapa kasus NGOs sering
mengkritisi kekurangan pemerintah begitu juga sebaliknya. Namun dalam beberapa
kasus, pemerintah dan NGOs harus bekerjasama delam pelaksanaan suatu kebijakan
atau program. Oleh karena itu tingkat kepercayaan diantara kedua belah pihak
harus dibangun dan dibina untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Legal
Framework and Regulation
Kerangka kerja hukum dan peraturan
dalam partnership khususnya antara pemerintah dengan NGOs memiliki pengaruh
yang signifikan. Rejim pemerintahan yang tidak demokratis biasanya cenderung
restrictive (membatasi) ruang gerak NGOs dan organisasi-organisasi asosiasi
lokal. Sehingga akan berpengaruh terhadap kerjasama (partnership) antara
pemerintah dengan NGOs dalam implementasi kebijakan atau program. Namun dalam
rejim pemerintahan yang demokratis cenderung lebih terbuka dalam membangun
komunikasi dalam kerjasama pelaksanaan kebijakan atau program.
The Nature of The Policy to be Implemented
Keberhasilan dalam partnership
antara pemerintah dengan civil society (NGOs) juga dipengaruhi oleh
karakteristik dari kebijakan yang disepakati masing-masing pihak (partner).
2. Effective Partnerhip Mecanisms and
Processes (Efektifitas makenisme dan proses dalam kebijakan
partnership)
Tidak ada satu mekanisme dan proses
yang paling efektif yang bisa mewakili setiap bentuk partnership dalam
implementasi kebijakan. Setiap bentuk partnership dalam implementasi kebijakan
sangat bergantung kepada variable-variabel yang mmpengaruhinya. Ada beberapa
bentuk mekanisme dan proses partnership yang bisa menggambarkan efektifitas kerja
partnership dalam pelaksanaan kebijakan atau program. Beberapa bentuk mekanisme
dan proses partnership tersebut dapat dilihat dalam gambar 2, yaitu:
Gambar 2:
Mekanisme dan proses partnership
Ad
Hoc versus Formal Mecanism
Dua bentuk mekanisme partnership bisa
Ad Hoc maupun Formal. Tidak ada satu bentuk mekanisme partnership yang lebih
baik antara satu dengan lainnya, semua tergantung situasi dan kondisi yang melingkupi
kebijakan partnership tersebut diimplementasikan. Dalam kondisi tertentu bentuk
mekanisme partnership Ad hoc bisa lebih efektif, karena disuatu negara atau
daerah tertentu mekanisme yang tidak terlalu formal, lebih cocok untuk
diterapkan, namun di beberapa negara atau daerah lain mekanisme formal lebih
cocok, tergantung pada sitiasi dan kondisi rejim pemerintah dan masyarakatnya.
Initiation
of the Partnership
Bentuk mekanisme dan proses
partnership yang efektif juga dipengaruhi oleh pihak (partners) mana yang
memulai (berinisiatif) untuk emlakukan partnership. Karakteristik di negara
sedang berkembang atau sedang mengalami transisi ekonomi, pemerintah cenderung
membatasi ruang gerak NGOs. Sehingga inisiasi untuk melakukan
kerjasama/partnership antara pemerintah dengan civil society (NGOs) cenderung
karena adanya tekanan dari pihak donor. Hal tersebut sangat berpengaruh
terhadap implementasi kebijakan, dan advokasi NGOs untuk membangun kemandirian
civil society sehingga memiliki bargaining power dengan pemerintah dalam
menetapkan kebijakan menjadi sangat signifikan.
Coordination
and Lingkages
Dalam policy
partnership antara pemerintah dengan civil society utamanya di dalam aktifitas
antar organisasi, keberhasilan partnership utamanya tergantung pada upaya
koordinasi dan efektifitas hubungan antar aktor yang terlibat. Membentuk suatu
kelompok kerja bersama (partnership) antar organisasi yang memiliki
karakteristik berbeda tidaklah mudah.
3. Strategic Management for Partnerships
(Strategi manajemen dalam partnership)
Membangun kemitraan
(partnership) dalam implementasi kebijakan sangat bergantung pada kapasitas
masing-masing partner yang terlibat. Dalam perencanaan dan implementasi
kebijakan partnership, komite IPC assistance mengembangkan strategi dan rencana kerja
seperti digambarkan dalam gambar 3, yaitu:
Gambar 3:
Langkah-langkah cross-sectoral policy partnership
Identifying
alternatives to existing policies, procedures, and regulations
Mengidentifikasi alternative
penyelesaian masalah bersama yang disepakati oleh masing-masing pihak yang
bermitra (partnership) menjadi kebijakan, prosedur dan aturan yang disepakati
bersama. Sehingga kebijakan atau program apa yang akan dilaksanakan merupakan
kesepakatan bersma.
Developing legitimacy for the
alternatives and building constituencies for change
Setelah
kebijakan dan aturan bersama disepakati, kemudian dikembangkan pada pemberian
legitimasi atau kewenangan atas setiap kebijakan yang sudah disepakati.
Kemudian membangun dukungan dari beberapa pihak untuk melakukan perubahan
(reform).
Designing organizational structures
and procedures to coordinate effort
Langkah
strategis berikutnya adalah memperkuat struktur organisasi hasil dari
kesepakatan dalam partnership untuk melakukan kerjasama. Organisasi yang terbentuk
dari partnership tersebut diperkuat baik struktur, kewenangan, dan
koordinasinya.
Mobilizing resources and actions in
each of the three countries
Langkah berikutnya adalah melakukan tindakan
untuk melaksanakan kebijakan yang telah disepakati bersama antar pihak yang
bermitra (partnership). Upaya ini dilakukan dengan memobilisasi sumber daya
yang ada baik material maupun sumber daya manusianya.
C.
Partnership
dalam Mewujudkan Kemandirian Desa
Banyak
strategi yang dapat ditempuh untuk mewujudkan kemandirian desa. Bermacam-macam
program sektoral yang masuk ke desa hampir semuanya bertujuan untuk membangun
kemandirian desa. Program-program penanggulangan kemiskinan seperti Inpres Desa
Tertinggal (IDT), PDM-DKE, P2KP, PNPM Mandiri dan banyak program lainya
semuanya berupaya membangun kemandirian desa. Namun sampai saat ini, masih
sedikit desa yang tergolong mandiri, hanya 3,92% pada tahun 2014.
Pengalaman
sejarah menunjukkan bahwa tidak mudah untuk mewujudkan kemandirian desa. Program-program
pemberdayaan masyarakat yang masuk ke desa, kebanyakan melakukan intervensi
kepada mayarakat desa untuk melakukan perubahan dari dalam diri masyarakt desa
itu sendiri. Namun kurang disadari bahwa peran faktor eksternal sebenarnya juga
sangat signifikan dalam membangun kemandirian masyarakat desa itu sendiri.
Kemampuan internal masyarakt desa baik sumber daya manusia, skill, maupun
potensi yang lain tidak akan berkembang apabila tidak melibatkan faktor
eksternal di luar desa. Oleh sebab itu sudah waktunya masyarakat desa membangun
jaringan kerjasama yang lebih luas. Kerjasama atau partnership dengan desa lain
maupun dengan pihak ketiga menjadi suatu kebutuhan apabila ingin mewujudkan
kemandirian desa. Masyarakat desa sudah waktunya out of the box dari lingkungan
desanya.
Strategi
paratnership yang termuat dalam undang-undang nomor 6 tahun 2014 secara
normatif adalah berupa kerjasama antar desa atau kerjasama dengan pihak ketiga.
Kerjasama (partnership) tersebut meliputi: pengembangan usaha bersama yang
dimiliki oleh desa untuk mencapai nilai ekonomi yang berdaya saing, kegiatan
kemasyarakatan, pelayanan, pembangunan dan pemberdayaan desa, dan kerjasama
juga dapat dilakukan di bidang keamana dan ketertiban di desa (buku 9 “Membangun
Jaringan Sosial dan Kemitraan” Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,
dan Transmigrasi).
Beberapa langkah
penting yang perlu dilakukan untuk membangun partnership diantaranya adalah:
(1) mengidentifikasi kebutuhan untuk melakukan kemitraan (partnership), (2)
memulai proses partnership, (3) membangun dan memelihara kerjasama
(partnership). Adapun langkah-langkah strategis yang
perlu dilakukan oleh pemerintah desa dalam membangun dan mengembangkan jaringan
sosial dan kerjasama, antara lain:
1.
Membantu aparat pemerintahan
desa dalam mengidentifikasi kelompok-kelompok sosial dan potensi perannya masing-masing
dalam proses pembangunan dan pemberdayaan desa.
2.
Melakukan
pendekatan ke kelompok-kelompok sosial di pedesaan dengan membangun dialog yang
baik.
3.
Mengajak
dan melibatkan kelompok-kelompok sosial dalam pertemuan yang diinisiasi oleh
desa. Pertemuan ini menjadi ruang bagi setiap kelompok sosial untuk berbagi
pengalaman dan pemikiran terkait dengan pembangunan dan pemberdayaan desa dalam
suatu dialog yang bebas. Bahkan jika diperlukan suatu musyawarah memungkinkan
menumbuhkan satu jaringan kerja.
4.
Menyusun
rencana kerja dan program bersama yang didasarkan atas kemampuan dan potensi
masing-masing kelompok sosial.
Beberapa strategi partnership untuk
mewujudkan kemandirian desa dalam rangka implement undang-undang nomor 6 tahun
2014, antara lain:
1.
Partnership
Pemerintah dengan NGOs (Pendamping Desa)
Partnership
yang sudah dilakukan dalam implementasi undang-undang nomor 6 tahun 2014
tentang desa tersebut yang pasti sudah dilakukan adalah kemitraan antara
pemerintah (Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Tansmigrasi
Republik Indonesia) dengan beberapa kelompok swadaya masyarakat (NGOs) yang
tergabung dalam pendamping desa. Kerjasama (partnership) tersebut lebih
bersifat Ad Hoc, artinya pemerintah dalam mengimplementasikan undang-undang
nomor 6 tahun 2014 membentuk suatu tim konsultan pendamping desa. Tim tersebut
bersifat sementara dengan system kontraktual sebagai tim pelaksana implementasi
kebijakan pendampingan desa. Dengan adanya intervensi dari tim pendamping desa
tersebut diharapkan kebijakan pemerintah yang tertuang dalam undang-undang
nomor 6 tahun 2014 bisa terlaksana dengan baik. Pola tersebut sebenarnya bukan
hal baru dalam implementasi kebijakan atau program pemerintah pasca reformasi.
Program-program sebelumnya juga sudah menggunakan pola seperti itu, seperti
dalam program PNPM Mandiri, PDM-DKE, IDT dll.
Yang
menjadi permasalahan utama sebenarnya adalah bagaimana tim tersebut mampu
merubah mind set masyarakat desa untuk lebih memiliki kepercayaan diri akan
kemampuan mereka untuk mandiri. Apabila mind set masyarakat desa dan pemerintah
desa masih terjebak dalam pola paternalistik, maka tidak akan muncul inovasi
dan sense of belonging terhadap
progam yang akan dijalankan, karena menganggap program tersebut berasal dari
luar desa (pemerintah). Akibatnya justru ketergantungan terhadap
program-program baru dari pemerintah yang akan muncul.
Kasus
yang berkembang dilapangan juga mengindikasikan munculnya keraguan terhadap netralitas
tim pendamping desa. Beberapa kasus di beberapa daerah yang termuat di beberapa
surat kabar menunjukkan adanya intervensi beberapa kelompok/golongan baik
partai politik maupun ormas dalam menentukan tim pendamping desa. Intervensi
kepentingan kelompok dalam tim pendamping desa yang nota bene sebagai
implementor kebijakan tentang desa sesuai undang-undang nomor 6 tahun 2014
menjadikan masyarakat desa kembali sebagai obyek sebuah kebijakan. Upaya untuk
menjadikan masyarakat desa sebagai subyek dalam pembangunan desa untuk mencapai
kemandirian seperti yang termuat di dalam undang-undang nomor 6 tahun 2014 akan
semakin bias. Kalau kondisi seperti itu yang terjadi mungkin saja akan terjadi
pembelokan arah kebijakan tentang desa yang semakin jauh dari cita-cita undang-undang
nomor 6 tahun 2014 dikarenakan adanya kepentingan-kepentingan kelompok atau
golongan yang menyusup ke dalam implementasi kebijakan tersebut. Upaya untuk
mewujudkan kemandirian desa akan semakin jauh dari harapan. Masyarakat desa
akan kembali dieksploitasi demi kepentingan kelompok atau golongan.
Kondisi
tersebut didukung oleh kurangnya kesiapan pemerintah desa dalam menghadapi
implementasi undang-undang nomor 6 tahun 2014. Aparatur pemerintah desa masih
lemah dalam penyusunan laporan keuangan dan laporan kegiatan terkait dengan
implementasi suatu program. Hal tersebut menjadi suatu permasalahan tersendiri
dalam implementasi Undang-undang desa. Selama ini pemerintah desa hanya sebagai
obyek penerima program dan tidak melakukan pertanggungjawaban, karena
pertanggungjawaban ada di departemen terkait. Namun dalam implementasi undang-undang
nomor 6 tahun 2014 terutama yang berkaitan dengan alokasi dana desa (ADD),
kepala desa akan berperan sebagai kuasa pengguna anggaran. Artinya
pertanggungjawaban penuh ada ditangan pemerintah desa khususnya kepala desa. Yang
menjadi kekhawatiran adalah kurangnya pemahaman aparatur pemerintah desa
tentang undang-undang nomor 6 tahun 2014, yang memandang implementasi undang-undang
nomor 6 tahun 2014 tersebut dari kacamata alokasi dana desa yang cukup besar.
Dalam
strategi partnership antara pemerintah dengan NGOs yang tergabung dalam tim
pendamping desa tersebut, pemerintah desa dan masyarakat desa masih diposisikan
sebagai obyek sebuah program dalam implementasi undang-undang nomor 6 tahun
2014. Peran pemerintah desa dan masyarakat desa akan bergantung kepada
pemerintah dan tim pendamping desa. Sehingga hak asal usul (rekognisi),
penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal
untuk kepentingan masyarakat desa (subsidiaritas), keberagaman,
kebersamaan, kegotong-royongan, kekeluargaan, musyawarah, demokrasi,
kemandirian, partisipasi, kesetaraan, pemberdayaan dan keberlanjutan yang
menjadi substansi utama Undang-undang nomor 6 Tahu 2014 akan semakin jauh dari
harapan untuk tercapai.
2.
Partnership
Antar Desa (Kerjasama Antar Desa)
Salah satu bentuk partnership
(kerjasama) yang menjadi amanah undang-undang nomor 6 tahun 2014 adalah
terbangunnya kerjasama antar desa dalam mendukung kemandirian desa. Kerjasama
antar desa tersebut menjadi faktor yang diharapkan mampu mendorong terbangunnya
kemandirian desa. Dalam buku 9 “Membangun Jaringan Sosial dan Kemitraan”
Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi disebutkan
bahwa secara normatif, kerjasama antar desa maupun kerjasama dengan pihak
ketiga telah diatur dalam undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa. Desa
dapat mengembangkan kerjasama meliputi; pengembangan usaha bersama yang
dimiliki oleh desa untuk mencapai nilai ekonomi yang berdaya saing, kegiatan
kemasyarakatan, pelayanan, pembangunan dan pemberdayaan desa, dan kerjasama
juga dapat dilakukan di bidang keamana dan ketertiban di desa.
Kerjasama antar desa
yang menjadi amanah undang-undang nomor 6 tahun 2014 dan termuat dalam buku 9 “Membangun
Jaringan Sosial dan Kemitraan” Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,
dan Transmigrasi tersebut akan berdampak terjadinya penyeragaman terhadap model
kerjasama antar desa. Bahkan dalam buku pedoman tersebut juga dijelaskan
mekanisme teknis dalam melakukan kerjasama, mulai dari sosialisasi perlunya
kerjasama antar desa, membentuk Badan Koordinasi Antar Desa (BKAD), sampai pada
penyepakatan bentuk kerjasama antar desa. Semua permasalahan teknis tersebut
diintervensikan merata, sama, dan dalam mekanisme projek ada batasan waktu
untuk pendampingan sampai terbentuknya kerjasama.
Tanpa melalui
assessment yang mendalam tentu tidak akan mampu menggali kebutuhan masyarakat
desa dalam mencapai kemandirian. Semua berjalan by project, sehingga seluruh
komponen terbentuknya kerjasama antar desa tersebut bersifat formal saja.
Seluruh kelengkapan mulai dari dokumen berita acara, notulensi musyawarah,
dokumentasi, perjanjian kerjasama, sampai terbentuknya Badan Koordinasi Antar
Desa semua berjalan by project. Justru langkah teknis yang project oriented
itulah yang menjadi jebakan proses pemberdayaan masyarakat desa. Semua
seolah-oleh berjalan demokratis, partisipatif, desentralisasi, transpaan, dan
akuntabel, namun hanya di atas kertas saja. Substansi yang sebenarnya tentang
kebutuhan masyarakat desa belum tentu tergali, hanya formalitas saja. Hal
seperti ini merupakan proses pengulangan (duplikasi) atas program-program
sebelumnya, sehingga core dari pemberdayaan masyarakat untuk mencapai
kemandirian masyarakat desa masih jauh dari harapan. Ada kecenderungan bahwa
dalam implementasi undang-undang nomor 6 tahun 2014 untuk memandirikan desa
akan terjebak ke dalam formalitas implementasi program.
3.
Partnership
Pemerintah, Perguruan Tinggi dan Desa
Strategi
partnership berikutnya adalah kemitraan (partnership) antara pemerintah,
perguruan tinggi, dan desa. Idealnya, kemitraan terjadi dalam kondisi pola
hubungan yang setara, artinya masing-masing pihak mempunyai bargaining power
yang seimbang. Namun dalam partnership yang sudah sering dilakukan antara
pemerintah, perguruan tinggi dan desa, sering kali inisiator kegiatan adalah
pemerintah. Dinas terkait yang menjadi leading
sector pelaksanaan kebijakan, karena sudah teralokasi anggaran, melakukan
kerjasama dengan perguruan tinggi untuk melibatkan desa dalam suatu kerjasama. Sebagai
contoh kerjasama yang dilakukan Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan
Keluarga Berencana (BPMPKB) Kabupaten Sidoarjo dengan Universitas Muhammadiyah
Sidoarjo (UMSIDA) dan 18 desa di Kabupaten Sidoarjo pada tahun 2015. Kerjasama
tersebut dilakukan dalam rangka mendukung kemandirian desa melalui upaya
pembentukan Badan Usaha Milik Dasa (BUM Desa). Kerjasama tersebut dilakukan
sebagai implementasi program BPMPKB Kabupaten Sidoarjo dalam implementasi
undang-undang nomor 6 tahun 2014. Kegiatan dimulai dengan sosialisai pemahaman
tentang BUM Desa, sampai pada upaya legalisasi BUM Desa.
Kerjasama
yang terjadi seperti contoh diatas banyak terjadi dalam konteks implementasi
program pemberdayaan desa. Kerjasama yang terjadi hanya formalitas yang harus
dilaksanakan karena kewajiban yang harus dilaksanakan oleh aparatur pemerintah
sebagai implementasi suatu kebijakan. Dalam konteks di atas adalah implementasi
kebijakan yang termuat dalam undng-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa.
Apabila konsep kerjasama kemitraan (partnership) seperti contoh di atas, tentu
tidak akan mengena pada substansi yang sebenarnya dari tujuan kerjasama seperti
yang tersirat dalam undang-undang nomor 6 tahun 2014.
Konsep
kerjasama harusnya disusun dalam konteks pola hubungan kerjasama yang setara
dan seimbang, dan tentu saja saling menguntungkan. Inisiatif untuk melakukan
kerjasama bisa dari pihak manapun, tetapi sebelum dilakukan kerjasama, tentu
saja harus dilakukan sosialisasi, pertemuan-pertemuan pendahuluan untuk
memahami kebutuhan masing-masing. Dan yang terpenting kerjasama kemitraan
(partnership) yang dilakukan dalam rangka implementasi kebijakan undang-undang
nomor 6 tahun 2014 tentu saja harus saling menguntungkan.
4.
Partnership
antara pemerintah, swasta dan desa
Bentuk
partnership yang dilakukan oleh desa dengan sector swasta baik dengan bantuan
pemerintah maupun dilakukan secara mandiri masih belum banyak dilakukan. Kalau
toh terjadi kemitraan (partnership), biasanya hanya desa-desa yang berada dalam
ring 1 lokasi operasional perusahaan swasta tersebut.
Public
private partnership antara pemerintah, swasta, dan masyarakat ini sebenarnya
sangat bagus dan potensial untuk dilakukan, mengingat besarnya asset dan
anggaran yang ada pada sektor swasta. Namun tanpa adanya pendampingan dan
advokasi yang kuat dari pemerintah maupun pihak lain (NGOs) tentu bargaining
power masyarakat dan pemerintah desa akan sangat kecil. Oleh karena itu peran
seorang pemimpin menjadi sangat signifikan dalam kasus ini.
D.
Kesimpulan
Undang-undang
nomor 6 tahun 2014 merupakan kebijakan yang reformis tentang desa. Refomasi
kebijakan tersebut sangat menonjol pada substansi tentang pemberian beberapa
hak istimewa kepada desa diantaranya adalah kewenangan pengakuan terhadap
hak asal usul (rekognisi), penetapan kewenangan berskala lokal dan
pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa (subsidiaritas),
keberagaman, kebersamaan, kegotong-royongan, kekeluargaan, musyawarah,
demokrasi, kemandirian, partisipasi, kesetaraan, pemberdayaan dan
keberlanjutan. Dari beberapa keistimewaan tersebut ada harapan besar terhadap
desa yaitu bisa terwujudnya kemandirian desa.
Salah satu upaya dalam
mewujudkan kemandirian desa tersebut adalah dengan melakukan kerjasama
kemitraan (partnership). Kerjasama kemitraan (partnership) dalam undang-undang
nomor 6 tahun 2014 tersebut bisa berupa kerjasama antar desa maupun kerjasama
kemitraan dengan pihak ketiga. Beberapa bentuk kemitraan (partnership) yang
sudah berjalan diantaranya adalah kemitraan (partnership) pemerintah dengan
NGOs (pendamping desa), partnership kerjasama antar desa, partnership antara
pemerintah, perguruan tinggi dan desa, dan partnership antara pemerintah,
swasta, dan desa.
Namun demikian
kegiatan partnership untuk mewujudkan kemandirian desa dalam implementasi
undang-undang nomor 6 tahun 2014 tersebut masih terjebak dalam formalitas
implementasi program dan duplikasi terhadap program-program sebelumnya. Secara
konsep bagus namun dalam implementasi masih membutuhkan sentuhan yang lebih
serius dengan menempatkan pemerintah dan masyarakat desa sebagai subyek
kebijakan atau program, bukan sebagai obyek.
TINJAUAN PUSTAKA
Parsons, Wayne,
2008. “Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan”, Kencana,
Jakarta.
Widjaja, HAW.,
2003. “Otonomi Desa: merupakan otonomi yang asli, bulat dan utuh”, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Chambers,
Robert, 1987. “Pembangunan Desa Mulai dari Belakang”, LP3ES, Jakarta.
Purnomo, Mangku,
2004. “Pembaruan Desa”, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta.
Maschab,
Mashuri, 2013. “Politik Pemerintahan Desa di Indonesia”, Polgov JPP UGM,
Yogyakarta.
Baquet,
Claudia R., MD, MPH; Jeanne I; Bromwell, BS; Hall, Marquetta B., PhD, MSc; and Frego,
Jacob F., BA; 2013. “Rual Community-Academic Partnership Model
for Community Engagement and Partnered Research”, Jurnal The Johns Hopkins
University Press, Baltimore, USA.
Brown,
C. Hendrics, Sheppard G. Kellam etc., 2011. “Partnerships for the Design, Conduct, and Analysis of Effectiveness,
and Implementation Research: Experiences of the Prevention Science and
Methodology Group”, Springer Science+Bussiness Media. LLC 2011,
Heldeweg,
Micheil, and Sanders Maurits, 2013. “Good
Legal Governance in Authoritative Public-Private Partnerships”, EPPPL
2/2013.
Sekhri,
Neelam; Feachem, Richard; and Ni, Angela; 2011. ” Public-Private Integrated Partnerships Demonstrate The Potential To
Improve Health Care Access, Quality, And Efficiency”, Health Affairs; Aug 2011; 30, 8; ProQuest.
Mannion, Russel; Brown, Sally; Beck, Matthias;
and Lunt, Neil; 2011. “Managing Cultural
Diversity in Healthcare Partnerships: the case of LIFT”, Jurnal of Health
and Management Vol. 25 No. 6, 2011. pp. 645-657 @ Emerald Group Publishing
Limited 1477-7266.
McCormack,
Dianne, RN, PhD; Buck, Dawn Marie, BSc, MHSc, and McGraw, Bonnie, RN, BN, 2013.
“Learning to use tension to create
sustainable partnerships for responsive policy and practice in the health
sector”, Nova Science Publishers, Inc.
Clayton,
Megan L.; Frattaroli, Shannon; Palmer, Anne; Pollack , Keshia M.; 2015. “The Role of Partnerships in U.S. Food
Policy Council Policy Activities”, PLoS ONE 10(4): e0122870.doi:10.1371/
journal.pone.0122870.
Undang-undang
Nomor 6 Tahun 2014
Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Peraturan
Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015, tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa.
Permen Des No 1
Th. 2015-Hak Rekognisi & Kewenangan Berbasis Lokal Desa.
Eko,
Sutarto, 2014. “Desa Membangun Indonesia”, FPPD, Yogyakarta.
Buku
1 sampai 9, Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
0 komentar:
Posting Komentar